IMPELEMTASI
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
A. Strategi Sukses Implementasi MBS
1. Strategi Sukses Implementasi MBS
Beberapa
prinsip MBS yang dapat digunakan sebagai acuan bagi sekolah dalam menerapkan
MBS, yaitu otonomi sekolah, fleksibilitas, partisipasi dan akuntabilitas untuk
mencapai sasaran mutu sekolah.
Menurut
Wohlstetter dan Mohrman, dkk. (1997), terdapat empat kewenangan (otonomi) dan
tiga prasyarat yang bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah
dalam mengimplementasikan MBS. Hal itu berkaitan dengan: (1) kekuasaan (power)
untuk mengambil keputusan, (2) pengetahuan dan keterampilan, termasuk untuk
mengambil keputusan yang baik dan pengelolaan secara profesional, (3) informasi
yang diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan, (4) penghargaan atas
prestasi (reward), (5) panduan instruksional (pembelajaran), seperti rumusan
visi dan misi sekolah yang menfokuskan pada peningkatan mutu pembelajaran, (6)
kepemimpinan yang mengupayakan kekompakan (kohesif) dan fokus pada upaya
perbaikan atau perubahan, serta (7) sumber daya yang mendukung.
Di
samping itu, penerapan MBS di sekolah juga hendaknya memperhatikan
karakteristik dari MBS, baik dilihat dari aspek input, proses dan output.
Pemahaman terhadap prinsip MBS dan karaketeristik MBS akan membawa sekolah
kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada akhirnya mutu pendidikan yang
diharapkan dapat tercapai dan dipertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya
dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Menurut
Slamet P.H (2001), pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara
terus-menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, strategi utama yang
perlu diditempuh dalam melaksanakan MBS adalah sebagai berikut.
Pertama,
mensosialiasikan konsep MBS. Sosialisasi dilakukan kepada seluruh warga
sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan
unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, dan sebagainya) melalui
seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa dengan memperhatikan sistem,
budaya, dan sumber daya sekolah. Kedua, melakukan analisis situasi. Analisis
sistuasi akan menghasilkan tantangan nyata, yang harus dihadapi oleh sekolah.
Tantangan adalah kesenjangan antara keadaan sekarang dan keadaan yang
diharapkan. Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang
(kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar
kecilnya tantangan yang ada.
Ketiga,
merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai melalui pelaksanaan MBS,
berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi. Kriteria kesiapan setiap fungsi dan
faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria ini digunakan sebagai standar atau
kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
Keempat, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai
tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk
mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi
fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan
yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud di
antaranya meliputi pengem-bangan: kurikulum, tenaga kependidikan dan
nonkependidikan, siswa, iklim akademik sekolah, hubungan sekolah-masyarakat,
fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Kelima,
menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan
dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi
yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan.
Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing
faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap
keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal
maupun eksternal. Tingkat kesiapan setiap fungsi harus memadai. Paling tidak
memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional,
yang dinyatakan sebagai kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal, serta
peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan
yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan sebagai
kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal, dan ancaman, bagi faktor
yang tergolong faktor eksternal.
Keenam,
memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan, yakni tindakan yang
diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Agar
tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah
ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut
langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakikatnya merupakan tindakan
mengatasi kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang.
Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor kekuatan
dan/atau peluang.
Ketujuh,
membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, berikut
program-program untuk merealisasikan rencana tersebut. Perencanaan itu
dilakukan secara partisipatif dan berdasarkan pada pemecahan masalah. Sekolah
tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen
berbasis sekolah, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk rencana jangka
pendek, menengah, dan panjang.
Kedelapan,
melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek
manajemen berbasis sekolah. Kesembilan, melakukan pemantauan serta evaluasi
proses hasil MBS. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik
bagi perbaikan penyelenggaraan. Sementara hasil evaluasi dapat digunakan untuk
mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan.
Nurkholis
(2003:132) mengemukakan sembilan strategi keberhasilan implementasi MBS.
Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya
otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan
ketrampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian, serta
pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa (2005: 41)
menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah kebijakan
pengembangan kurikulum yang mengacu kepada standar kompetensi, kompetensi
dasar, dan standar isi, serta pembelajaran beserta sistem evaluasinya,
sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa
dan masyarakat yang dilakukan secara fleksibel. Kedua, adanya peran serta
masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan
terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non- pembelajaran. Menurutnya, sekolah
harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena
bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat secara luas. Wujud dari partisipasi
masyarakat dan orang tua siswa bukan hanya sebatas dalam bantuan dana, tetapi
lebih dari itu dalam memikirkan peningkatan kualitas sekolah. Misalnya,
partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan mengembangkan program-program
pendidikan.
Ketiga,
adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan
mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala sekolah harus
menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum.
Dalam MBS kepala sekolah berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan
liaison. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas
kemampuan manajerial dan kepemimpinan, dan bukan lagi didasarkan atas jenjang
kepangkatan.
Menurut
Mulyasa (2005:98), Kepala Sekolah merupakan “sosok kunci” (the key person)
keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam kerangka
implementasi MBS. Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala sekolah harus
memiliki visi, misi, dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta
kemampuan profesional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan,
manajerial, dan supervisi pendidikan. Kepala sekolah juga dituntut untuk
menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan
program pendidikan di sekolah. Singkatnya, dalam implementasi MBS, kepala
sekolah harus mempu berperan sebagai educator, manajer, administrator,
supervisor, leader, innovator dan motivator.
Keempat,
adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan
sekolah yang efektif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus
mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen
yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orangtuanya, serta
masyarakat dan para guru.
Kelima,
semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh.
Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada
sosialisasi tentang konsep MBS.
Keenam,
adanya panduan (guidelines) dari Departeman Pendidikan terkait sehingga mampu
mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Dengan dasar
hukum pelaksanaan MBS yang tertuang adalam UU No. 25 Tahun 2000, dan UU No. 20
Tahun 2003, Departemen Pendidikan diharapkan memberikan panduan sebagai
rambu-rambu dalam pelaksanaan MBS yang sifatnya tidak mengekang dan membelenggu
sekolah.
Ketujuh,
sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam laporan
pertanggungjawaban tahunan. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban
sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dikelola secara
transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan
kepada setiap pihak terkait.
Kedelapan,
penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah, khususnya pada
peningkatan prestasi belajar siswa.
Kesembilan,
implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran
masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building), pengadaan
pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses
pembelajaran, monitoring dan evaluasi, serta melakukan perbaikan-perbaikan.
Di
samping itu, pelaksanaan MBS perlu didukung oleh iklim sekolah yang memadai,
yaitu iklim sekolah yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman
dan tertib, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan
menyenangkan (enjoyable learning). Iklim sekolah akan mendorong terwujudnya
proses pembelajaran yang efektif, yang lebih menekankan pada learning to know,
learning to do, learning to be, dan learning to live together. Untuk mendukung
semua itu, sekolah perlu dilengkapi oleh sarana dan prasarana pendidikan, serta
sumber-sumber belajar yang memadai.
2. Faktor Pendukung Kesuksesan Implementasi
MBS
Menurut
Nurkholis (2003:264), ada enam faktor pendukung keberhasilan implementasi MBS.
Keenamnya mencakup: political will, finansial, sumber daya manusia, budaya
sekolah, kepemimpinan, dan keorganisasian.
Keberhasilan
implementasi MBS di Indonsia tidak terlepas dari dasar hukum implementasi MBS
yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah juga
sebagai dasar bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Salah satu contoh dukungan
pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya panduan manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Aspek
finansial atau keuangan merupakan faktor penting bagi sekolah dalam
mengimplementasikan MBS. Kalau mencemati perjalanan implementasi MBS di
Indonesia, perhatian pemerintah dari aspek finansial dalam mendukung
implementasi MBS di Indonesia baru dirasakan secara langsung melalui pemberian
dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Mulai
Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2007 ini, implementasi MBS mendapatkan dukungan
dari lembaga-lembaga donor internasional dan negara-negara tetangga, di
antaranya adalah Unesco, New Zealand Aid, Asian Development Bank, USAID, dan
AusAID. Yang paling menyedihkan adalah banyak perusahaan-perusahaan di
Indonesia yang setiap tahunnya memberikan laporan keuntungan yang sangat besar,
tetapi kontribusinya terhadap pendidikan masih sangat rendah. Di samping itu,
walaupun UUD 1945 yang diamandemen mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dan
daerah harus mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%, namun dalam prakteknya
masih sangat sulit diterapkan. Jika dukungan pemerintah melalui alokasi
anggaran pendidikan 20% dipenuhi, sebagian dana pendidikan tersebut dapat
digunakan untuk mendukung kesuksesan implementasi MBS.
Sumber
daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan
implementasi MBS. Ketersedian sumber daya manusia yang mendukung implementasi
MBS belum cukup. Karena MBS merupakan hal yang baru dan hanya sebagian orang
yang mempunyai keahlian dan keterampilan dalam mendukung implementasi MBS. Oleh
karena itu, dukungan untuk on the job training, atau in service training dalam
kerangka peningkatan pengetahuan dan kemampuan tentang MBS perlu dilakukan.
Faktor
budaya sekolah rata-rata belum bisa mendukung kesuksesan implementasi MBS.
Perubahan dari budaya sekolah yang telah lama terbentuk dengan manajemen
pendidikan yang sentralistik menuju manajemen pendidikan yang sentralistik
masih sulit dilaksanakan. Budaya yang hanya melaksanakan apa yang ditetapkan
pusat masih melekat pada sebagian besar sekolah. Masih banyak warga sekolah
yang tidak perduli terhadap kemajuan sekolahnya. Oleh karena itu, perlu
dibangun budaya sekolah yang mendukung implementasi MBS, seperti budaya untuk
maju, bekerja keras, inovatif, dan sebagainya untuk mencapai peningkatan mutu
sekolah.
Kepemimpinan
dan organisasi yang efektif merupakan faktor penting lainnya untuk keberhasilan
implementasi MBS. Kepemimpinan yang efektif tercapai apabila kepala sekolah
memiliki kemampuan profesional di bidangnya, memiliki bakat atau sifat, serta
memahami kondisi lingkungan sekolah dalam menerapkan kepemim-pinannya. Kepala
sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang mampu berperan sebagai
educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator.
Di samping itu, sekolah sebagai organisasi harus diubah dan dikembang-kan.
Perubahan dan pengembangan organisasi sekolah harus diawali dari perubahan
individu dan lingkungan kerja secara bertahap, sehingga perubahan sekolah akan
berjalan baik apabila perubahan organisasi itu berdampak pada perbaikan
kehidupan para guru dan stafnya.
3. Ukuran Keberhasilan Implementasi MBS
Salah
satu ukuran penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat terhadap
peningkatan kualitas pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa.
Ukuran keberhasilan implementasi MBS tidak terlepas dari tiga pilar kebijakan
pendidikan nasional, khususnya pilar ke dua dan ketiga, yaitu pemerataan dan
peningkatan akses serta peningkatan mutu dan tata layanan.
Pada
aspek pemerataan dan peningkatan akses, keberhasilan MBS dapat dilihat dari
kemampuan sekolah dan daerah dalam menangani masalah pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan. MBS dikatakan berhasil apabila jumlah anak usia sekolah
yang bersekolah meningkat, khususnya dari kelompok masyarakat berasal dari
daerah pedesaan dan terpencil, keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi,
sosial dan budaya, gender, serta penyandang cacat. Ukuran-ukuran kuantitatif
yang dapat digunakan adalah nilai angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi
murni (APM), angka transisi (AT).
Dari
segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implementasi MBS dapat
dilihat dari meningkatnya prestasi akademik maupun nonakademik Sedangkan
indikator tata layanan pendidikan ditunjukkan oleh sejauh mana peningkatan
layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih baik kepada siswa
melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolah,
akan menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi lebih efektif, serta siswa
pun menjadi lebih aktif dan kreatif karena mereka berada dalam lingkungan
belajar yang menyenangkan. Tata layanan pendidikan yang berkualitas
mengakibatkan prestasi siswa juga meningkat, baik dari aspek akademik maupun
nonakademik. Dampak positif lainnya dari tata layanan pendidikan yang
berkualitas ialah menurunnya jumlah siswa mengulang kelas atau yang drop-out.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sekolah yang telah berhasil menerapkan MBS
akan tercermin dari adanya kinerja sekolah yang kian membaik atau meningkat. Dampak
dari meningkatnya kinerja sekolah adalah pengelolaan sekolah menjadi lebih
efektif dan efisien.
Di
samping kinerja sekolah tersebut, indikator lain yang dapat digunakan untuk
mengukur keberhasilan implementasi MBS adalah meningkatnya partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan di sekolah yang menjadikan sekolah lebih
demokratis, transparan dan akuntabel.
Nurkholis
(2003:271-282) menyatakan bahwa ukuran keberhasilan implemen-tasi MBS di
Indonesia dapat dinilai setidaknya dari sembilan kriteria. Pertama, jumlah
siswa yang mendapat layanan pendidikan semakin meningkat. Kedua, kualitas
layanan pendidikan menjadi lebih baik, yang berdampak pada peningkatan prestasi
akademik dan nonakademik siswa.
Ketiga,
tingkat tinggal kelas menurun dan produktivitas sekolah semakin baik.
Maksudnya, rasio antara jumlah siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang
lulus menjadi lebih besar. Siswa yang tinggal kelas menurun karena (a) siswa
semakin semangat datang ke sekolah dan belajar di rumah dengan dukungan orang tua
dan lingkungannya, (b) pembelajaran di sekolah semakin baik karena kemampuan
mengajar guru menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Aspek produktivitas
sekolah meningkat disebabkan karena (a) peningkatan efisiensi dalam penggunaan
berbagai sumber daya di sekolah, dengan memberdayakan peran serta masyarakat,
isntitusi, dan tenaga kependidikan secara demokratis dan efisien, serta (b)
peningkatan efektivitas dengan tercapainya berbagai tujuan pendidikan yang
diterapkan.
Keempat,
relevansi pendidikan semakin baik, karena program-program sekolah dibuat
bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh masyarakat, baik dari aspek
pengembangan kurikulum maupun sarana dan prasarana sekolah yang disesuaikan
dengan kebutuhan lingkungan masyarakat. Kelima, terjadinya keadilan dalam
penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan
secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing
keluarga. Biaya pendidikan pada tingkat dan jenis pendidikan serupa antara
daerah yang satu dengan daerah lainnya akan berlainan menurut kekuatan ekonomi
warganya.
Keenam,
meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan
di sekolah, baik yang menyangkut keputusan instruksional maupun organisasional.
Ketujuh, iklim dan budaya kerja sekolah semakin baik, yang pada akhirnya
berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Kedelapan,
kesejahteraan guru dan staf sekolah membaik. Kesembilan, terjadinya
demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat dari aspek
kelembagaannya, maka ukuran keberhasilan Implementasi MBS dapat dilihat dari
ciri-ciri sekolah yang telah melaksanaan MBS. Adapun ciri-ciri sekolah yang
melaksanaan MBS
B. Perencanaan Pengembangan Sekolah
1. Konsep Perencanaan
Syaiful
Sagala (2004:19) mengatakan bahwa perencanaan (planning) adalah fungsi
manajemen yang menentukan secara jelas pemilihan pola-pola pengarah untuk
pengambil keputusan sehingga terdapat koordinasi dari demikian banyak keputusan
dalam suatu kurun waktu tertentu dan mengarah kepada tujuan-tujuan yang telah
ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan merupakan suatu proses yang
memungkinkan seorang manajer melihat ke masa depan dan menemukan berbagai
alternatif arah kegiatan. Karena itu, perencanaan merupakan urat nadi dalam
sebuah manajemen.
Jadi,
perencanaan adalah proses penetapan dan pemanfaatan sumber-sumber daya secara
terpadu yang diharapkan dapat menunjang kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang
akan dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan (Sagala,
2004:19). Sebagai salah satu fungsi manajemen, perencanaan menempati fungsi
pertama dan utama di antara fungsi-fungsi manajemen lainnya.
Dalam
suatu perencanaan perlu ditetapkan teknik/cara dan alat pengukur yang akan
dipergunakan untuk mengetahui tahap pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Usaha mengukur ketercapaian tujuan itu disebut evaluasi (Nawawi, 1997:26).
Evaluasi adalah proses penetapan seberapa jauh tujuan yang telah dirumuskan
dapat dicapai dengan mempergunakan cara kerja, alat, dan personil tertentu.
Dengan demikian usaha merencanakan cara evaluasi akan meliputi pula tindakan
kontrol terhadap efisiensi cara bekerja, keserasian dan ketepatan alat yang
dipergunakan, serta kemampuan personal dalam mewujudkan kerja.
Evaluasi
internal dapat dilakukan dengan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity,
dan Threats) yaitu menganalisis kekuatan dan kelemahan lembaga (internal),
serta peluang dan ancaman (eksternal) yang dihadapi. Evaluasi diri dilakukan
oleh tim secara objektif terhadap kinerja lembaga. Berdasarkan hasil analisis
tersebut kemudian dirumuskan isu atau permasalahan yang harus dicari
pemecahannya serta tindakan yang perlu dilakukan. Hal penting yang harus
diperhati-kan dalam evaluasi diri adalah ketersediaan sumber daya dan prioritas
program. Untuk memperjelas apa dan bagaimana evaluasi diri (SWOT analysis),
perhatikan gambar berikut ini (Nanang Fattah, 2004:36).
Banghart
dan Trull (dalam Sagala, 2000:46) mengemukakan, “Educational planning is first
of all a rational process”. Pendapat ini menunjukkan bahwa perencanaan
pendidikan adalah awal dari proses-proses rasional, dan mengandung sifat
optimisme yang didasarkan atas kepercayaan bahwa berbagai permasalahan akan
dapat diatasi. Perencanaan pendidikan di sekolah harus luwes, mampu
menyesuaikan diri terhadap kebutuhan, dapat dipertanggungjawabkan, dan menjadi
penjelas dari tahap-tahap yang dikehendaki dengan melibatkan sumber daya dalam
pembuatan keputusan. Perencanaan sekolah ini juga seharusnya menjadi bagian
penting dari perencanaan pemerintah kabupaten/kota tempat sekolah itu berada.
Dari berbagai hasil penelitian, ditemukan bahwa salah satu kelemahan sekolah
dalam meningkatkan kualitas sekolah adalah dalam penyusunan rencana
pengembangan sekolah. Hanya sebagian kecil saja sekolah yang memiliki rencana
pengembangan sekolah secara komprehensif. Karena pada umumnya sekolah hanya
memiliki rencana kegiatan tahunan, tetapi jarang yang memiliki rencana
pengembangan untuk jangka panjang. Selain itu, banyak sekolah yang dalam menyusun
rencana kegiatan tahunan tersebut terkesan berorientasi pada “penggunaan” dana
yang dimiliki, sehingga jika ditanya tentang rencana kegiatan tahunan, mereka
akan menunjukkan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah).
Fenomena
rencana kegiatan tahunan yang bernuansa “penggunaan” dana ini, diduga
disebabkan oleh kekurangpahaman sekolah terhadap cara penyusunan rencana
pengembangan sekolah.
Rencana
pengembangan sekolah harus komprehensif. Sebab jika tidak, akan menyebabkan
rencana kegiatan tahunan sekolah tidak berkesinambungan dari tahun ke tahun.
Setiap saat arah pengembangan sekolah dapat bergeser atau berubah diwarnai oleh
isu yang menarik/hangat pada saat itu dan kepemimpinan sekolah. Dengan adanya
rencana pengembangan, sekolah tidak mudah terombang-ambingkan, karena sekolah
sudah memiliki arah yang jelas tentang tujuan yang ingin diraihnya.
Rencana
Pengembangan Sekolah merupakan rencana yang komprehensif untuk mengoptimalkan
pemanfaatkan semua sumber daya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna
mencapai tujuan yang diinginkan pada masa mendatang. Rencana pengembangan
sekolah harus berorientasi ke depan dan menjelaskan bagaimana menjembatani
kondisi saat ini dengan harapan yang ingin dicapai di masa depan. Rencana
pemgembangan sekolah merupakan rencana yang harus mempertimbangkan dan
memperhatikan peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal dan memperhatikan
kekuatan dan kelemahan internal, kemudian mencari dan menemukan strategi dan
program-program untuk memanfaatkan peluang dan kekuatan yang dimiliki serta
mengatasi tantangan dan kelemahan yang ada, guna mencapai visi yang telah
ditetapkan.
Oleh
karenanya, rencana pengembangan sekolah harus memuat secara jelas hal-hal
sebagai berikut.
a. Visi sekolah, yang menggambarkan sekolah
yang bagaimana yang diinginkan di masa mendatang (jangka panjang).
b. Misi sekolah, yang berisi tindakan/upaya
untuk mewujudkan visi sekolah yang telah ditetapkan sebelumnya.
c. Tujuan pengembangan sekolah, yang
menjelaskan apa yang ingin dicapai dalam upaya pengembangan sekolah pada kurun
waktu menengah, misalnya untuk 3-5 tahun.
d. Tantangan nyata yang harus diatasi
sekolah, yaitu gambaran kesenjangan (gap) dari tujuan yang diinginkan dan
kondisi sekolah saat ini.
e. Sasaran pengembangan sekolah, yaitu apa
yang diinginkan sekolah untuk jangka pendek, misalnya untuk satu tahun.
f. Identifikasi fungsi-fungsi yang berperan
penting dalam pencapai sasaran tersebut.
g. Analisis SWOT terhadap fungsi-fungsi
tersebut, sehingga ditemukan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang
(oportunity) dan ancaman (threat) dari setiap fungsi yang telah diidentifikasi
sebelumnya.
h. Identifikasi alternatif langkah untuk
mengatasi kelemahan dan acaman dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang yang
dimiliki sekolah.
i. Rencana dan program sekolah yang
dikembangkan dari alternatif yang terpilih, guna mencapai sasaran yang
ditetapkan.
Hal
yang perlu diperhatikan dalam menyusun rencana pengembangan sekolah ialah
adanya keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan (stake holder), misalnya
guru, siswa, tata usaha/karyawan, orangtua siswa, tokoh masyarakat yang
memiliki perhatian kepada sekolah. Karena dengan cara tersebut diharapkan
rencana pengembangan sekolah menjadi “milik” semua warga sekolah dan pihak lain
yang terkait.
Pelibatan
warga sekolah tersebut tentu saja sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Maksudnya, setiap orang dilibatkan sesuai dengan kemampuan dan kepentingannya.
Pelibatan warga sekolah ini menggunakan prinsip perwakilan, tetapi tetap harus
menjaga “rasa terwakili” dalam proses penyusunan dan “rasa memiliki” terhadap
hasil. Seluruh warga sekolah harus merasa ikut menentukan dalam proses
penyusunan rencna strategis, sehingga merasa ikut memiliki rencana tersebut,
yang pada akhirnya merasa terpanggil untuk mensukseskannya.
Rencana
pengembangan sekolah sebenarnya secara komprehensif mencakup harapan jangka
panjang yang ditunjukkan oleh visi sekolah, harapan jangka menengah yang
ditunjukkan oleh tujuan sekolah, dan sasaran jangka pendek sekaligus bagaimana
mencapai sasaran tersebut. Jika tahapan tersebut dilakukan secara konsisten,
maka ketercapaian sasaran demi sasaran pada akhirnya akan berakumulasi menjadi
ketercapaian tujuan dan akhirnya mencapai visi sekolah. Perlu dicatat bahwa
ketika rencana dan program tahunan sekolah telah disusun, maka berikutnya
diikuti dengan penyusunan rencana anggaran sekolah, yang biasanya disebut
dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Jadi. RAPBS
adalah dukungan “anggaran” untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
2. Tahapan dalam Penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah
Dalam
melaksanakan MBS, sekolah harus mampu membuat rencana pengembangan sekolah
(RPS) yang mengarah pada peningkatan kualitas sekolah. Sebuah RPS yang baik
memiliki beberapa tahapan yang hierarkis, sistematis, dan jelas. Mengapa?
Karena RPS merupakan pedoman kerja (kerangka acuan) dalam melaksanakan
pengembangan sekolah, dasar untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
pengembangan sekolah, serta acuan untuk mengidentifikasi dan mengajukan
sumber-sumber daya pendidikan yang diperlukan dalam pengembangan sekolah.
Penyusunan
RPS berrtujuan agar sekolah dapat mengetahui secara rinci tindakan-tindakan
yang harus dilakukan sehingga tujuan, kewajiban, dan sasaran pengembangan
sekolah dapat dicapai. Dalam RPS, semua program dan kegiatan pengembangan
sekolah mestinya sudah memperhitungkan harapan-harapan para
pemangku-kepentingan dan kondisi nyata sekolah. Oleh sebab itu, proses
perumusan RPS harus melibatkan semua pemangku-kepentingan.
Rencana
Pengembangan Sekolah (RPS) yang baik memiliki sejumlah ciri berikut.
a. Komprehensif dan terintegrasi, yakni
mencakup perencanaan keseluruhan program yang akan dilaksanakan sekolah.
b. Multi-tahun, yaitu mencakup periode
beberapa tahun – umumnya di sekolah dikembangkan untuk jangka waktu empat –
lima tahun. Setiap tahun terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan
terakhir.
c. Multi-sumber, yaitu menunjukkan jumlah
dan sumber dana masing-masing program. Misalnya dari BOS, APBD Kabupaten/Kota,
iuran orang tua atau sumber lainnya.
d. Disusun secara partisipatif oleh Kepala
Sekolah, Komite Sekolah dan Dewan Pendidik dengan melibatkan para
pemangku-kepentingan lainnya.
e. Pelaksanaannya dimonitor oleh Komite
Sekolah dan pemangku-kepentingan yang lain (DBE1, 2006).
Menurut
Kaufman, R. & English, F.W (1979), perencanaan pengembangan sekolah terdiri
dari sejumlah tahap berikut.
a. Mengidentifikasi kebutuhan (need) yang
didasarkan pada keadaan sekolah atau profil sekolah (what is) dan harapan
stakeholder atau standar (what should be).
b. Melakukan analisis kebutuhan yang
didasarkan pada alternatif pemecahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
c. Menetapkan sasaran atau tujuan.
d. Menetapkan program dan kegiatan.
e. Menetapkan anggaran.
f. Melakukan implementasi dan evaluasi.
Sementara
itu, dalam manual RPS yang diterbitkan oleh DBE1 (2006) dinyatakan bahwa ada
empat tahap penyusunan RPS.
a. Mengidentifikasi tantangan. Tujuan dari
identifikasi tantangan adalah mengidentifikasi kesenjangan antara harapan
pemangku kepentingan (stakeholder) dan keadaan atau profil sekolah serta
memilih tantangan utama yang muncul.
b. Melakukan analisis tantangan. Pada tahap
ini dilakukan identifikasi penyebab tantangan utama dan melakukan identifikasi
alternatif pemecahan untuk mengatasi sebab utama tantangan.
c. Melakukan penyusunan program. Pada tahap
ini terdapa tiga langkah yang dilakukan yaitu menetapkan sasaran, menyusun
program dan indikator keberhasilan, serta menyusun kegiatan.
d. Menyusun rencana biaya dan pendapatan
(RAPBS).
Tahapan
penyusunan RPS (Depdiknas, 2002).yaitu :
a. Merumuskan visi sekolah
Visi
adalah imajinasi moral yang menggambarkan profil sekolah yang diinginkan pada
masa mendatang. Imajinasi ke depan seperti itu didasarkan pada SWOT sekolah dan
stakeholders, dan diyakini akan terjadi di masa datang. Mungkin kita
mengimajinasikan sekolah yang bermutu, diminati oleh masyarakat, memiliki
jumlah guru yang cukup dengan kualitas yang baik, fasilitas sekolah yang baik,
dan sebagainya. Namun demikian, visi sekolah harus tetap berada dalam koridor
kebijakan pendidikan nasional serta kemampuan sekolah itu untuk mewujudkannya.
Tanggung
jawab pendidikan di sekolah bukan hanya monopoli kepala sekolah, guru, dan
tenaga kependidikan lainnya, melainkan tanggung jawab banyak orang sebagaimana
yang dituangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Guru, karyawan, siswa, orangtua siswa, masyarakat, dan pemerintah adalah contoh
dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah. Oleh karena itu, dalam
merumuskan visi sekolah, kelompok kepentingan tersebut harus diajak
bermusyawarah dan didengar pendapatnya. Dengan cara itu visi sekolah akan
mewakili aspirasi stakeholder dan mereka merasa “memiliki” visi tersebut, yang
pada gilirannya diharapkan mendorong mereka untuk bersama-sama berperan aktif
dalam mewujudkan visi tersebut.
Visi
pada umumnya dirumuskan dengan kalimat yang filosofis, bahkan seringkali mirip
sebuah slogan, namun tidak bombastis. Sering pula dirumuskan dalam bentuk
kalimat yang khas, mudah diingat dan terkait dengan istilah tertentu. Rumusan
visi yang baik memiliki ciri berikut.
· Berorientasi ke masa depan (jangka
waktu yang lama).
· Menunjukkan keyakinan masa depan
yang jauh lebih baik, sesuai dengan norma dan harapan masyarakat.
· Mencerminkan standar keunggulan dan
cita-cita yang ingin dicapai.
· Mencerminkan dorongan yang kuat akan
tumbuhnya inspirasi, semangat, dan komitmen warga sekolah dan sekitarnya.
· Mampu menjadi dasar dan mendorong
terjadinya perubahan dan pengembangan sekolah ke arah yang lebih baik.
· Menjadi dasar perumusan
misi dan tujuan sekolah.
b. Menyusun misi sekolah
Misi
adalah tindakan atau upaya untuk mewujudkan visi. Oleh karenanya, misi
merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, dan rancangan
tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan visi. Dengan kata lain, misi
adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan
berbagai indikatornya. Rumusan misi selalu dalam bentuk kalimat yang
menunjukkan “tindakan” dan bukan kalimat yang menunjukkan “keadaan” sebagaimana
pada rumusan visi.
c. Merumuskan tujuan sekolah
Perumusan
tujuan sekolah harus berdasar dari visi dan misi. Jika visi dan misi terkait
dengan jangka waktu yang sangat panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka
waktu menengah. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan atau
langkah untuk mewujudkan visi sekolah yang telah dicanangkan. Sebaiknya tujuan
tersebut dikaitkan dengan siklus program sekolah, misalnya untuk jangka 4
tahunan.
d. Menganalisis tantangan
Tantangan
merupakan kesenjangan (gap) antara tujuan yang ingin dicapai sekolah dengan
kondisi sekolah saat ini. Tantangan harus “diatasi” selama kurun waktu
tertentu. Jika saat ini sekolah baru mencapai juara ketiga pada LKIR tingkat
kabupaten, sedangkan tujuan sekolah ingin mencapai juara pertama, maka
tantangan yang dihadapi sekolah adalah “dua peringkat”, yaitu dari juara ketiga
menjadi juara pertama.
Pada
organisasi besar, seperti perusahaan atau instansi tertentu, sesudah perumusan
tujuan dilanjutkan dengan perumusan strategi perusahaan atau instansi tersebut
untuk mencapai tujuan. Strategi dalam hal ini dimaksudkan sebagai “langkah
pokok” perusahaan, organisasi, atau departemen untuk mencapai tujuannya.
Strategi
tersebut disamping mengacu kepada tujuan yang ingin dicapai, juga memperhatikan
kondisi sekolah saat ini, khususnya kekuatan dan peluang yang dapat digunakan.
Misalnya, sebuah sekolah yang berada pada lingkungan masyarakat yang secara
sosial ekonomi sangat bagus, sementara anggaran pemerintah belum bagus, merumuskan
strategi untuk mencapai tujuan sekolah adalah “menggalang partisipasi orang tua
dan masyarakat”. Sekolah lain yang merasa jumlah dan kualifikasi tenaga guru
cukup baik, namun prestasi akademik siswa ternyata rendah, melakukan analisis
dan menemukan bahwa kondisi kerja di sekolah merupakan salah faktor penentu
motivasi kerja guru, yang berujung pada mutu hasil belajar. Oleh karena itu,
rumusan salah satu strateginya adalah “meningkatkan iklim kerja sekolah”. Jadi
strategi harus memperhatikan hasil evaluasi diri atau profil sekolah.
Untuk
sekolah, mungkin strategi seperti tersebut diatas tidak harus dirumuskan secara
khusus. Namun, perlu dipikirkan pada saat menentukan alternatif langkah-langkah
mengatasi masalah dan penyusunan rencana dan program sekolah. Sebaiknya kedua
langkah tersebut memperhatikan strategi dasar sekolah dalam mencapai tujuan
yang diinginkan.
e. Menentukan sasaran sekolah
Berdasarkan
pada tantangan tersebut, tahap selanjutnya adalah merumuskan sasaran atau
target mutu yang akan dicapai oleh sekolah. Sasaran harus menggambarkan mutu
dan kuantitas yang ingin dicapai dan terukur agar mudah melakukan evaluasi
keberhasilannya. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan tantangan yang
dihadapi sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada
visi, misi, dan tujuan sekolah. Oleh karenanya, setiap sekolah harus memiliki
visi, misi, dan tujuan sekolah sebelum merumuskan sasarannya.
Sasaran
dapat disebut juga tujuan jangka pendek (misalnya 1 tahun) atau tujuan
situasional sekolah. Dari uraian tersebut, maka yang dimaksud dengan
sasaran/tujuan situasional adalah tujuan yang dirumuskan dengan memperhitungkan
tantangan yang dihadapi oleh sekolah. Ketika menentukan sasaran, prioritas
sasaran harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Misalnya, sekolah
mencanangkan tujuan yang mencakup tiga aspek. Untuk itu, sekolah perlu menyusun
prioritas, apakah ketiga aspek tersebut akan digarap pada tahun pertama, atau
hanya beberapa aspek saja berdasarkan pertimbangan kondisi dan kemampuan
sekolah.
f. Mengidentifikasi fungsi-fungsi
Setelah
sasaran ditentukan, selanjutnya dilakukan identifikasi fungsi-fungsi yang
diperlukan untuk mencapai sasaran tersebut. Langkah ini harus dilakukan sebagai
persiapan dalam melakukan analisis SWOT. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya
untuk meningkatkan nilai ujian sekolah adalah fungsi proses belajar mengajar
(PBM) dan pendukung PBM, seperti: ketenagaan, kesiswaan, kurikulum, perencanaan
instruksional, sarana dan prasarana, serta hubungan sekolah dan masyarakat.
Selain itu terdapat pula fungsi-fungsi yang tidak terkait langsung dengan
proses belajar mengajar, misalnya pengelolaan keuangan dan pengembangan iklim
akademik sekolah.
Apabila
sekolah keliru dalam menetapkan fungsi-fungsi tersebut atau fungsi tidak sesuai
dengan sasarannya, maka dapat dipastikan hasil analisis akan menyimpang dan
tidak berguna untuk memecahkan persoalan. Oleh karenanya, diperlukan kecermatan
dan kehati-hatian dalam menentukan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai
sasaran yang ditentukan. Pada setiap fungsi ditentukan pula faktor-faktornya,
baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal agar setiap fungsi
memiliki batasan yang jelas dan memudahkan saat melakukan analisis.
Setelah
fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran telah diidentifikasi, maka
langkah berikutnya adalah menentukan tingkat kesiapan masing-masing fungsi beserta faktor-faktornya melalui analisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).
g. Melakukan analisis SWOT
Analisis
SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi
dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah
ditetapkan. Oleh karena tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat
kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis
SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi tersebut, baik
faktor internal maupun eksternal.
Dalam
melakukan analisis terhadap fungsi dan faktor-faktor, berlaku beberapa
ketentuan.Untuk tingkat kesiapan yang memadai, artinya, memenuhi kriteria
kesiapan minimal yang diperlukan untuk mencapai sasaran, dinyatakan sebagai
kekuatan bagi faktor internal atau peluang bagi faktor eksternal. Sedangkan
tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya, tidak memenuhi kriteria kesiapan
minimal, dinyatakan sebagai kelemahan bagi faktor internal atau ancaman bagi
faktor eksternal. Untuk menentukan kriteria kesiapan, diperlukan kecermatan,
kehati-hatian, pengetahuan, dan pengalaman agar dapat diperoleh ukuran kesiapan
yang tepat.
Kelemahan
atau ancaman yang dinyatakan pada faktor internal dan faktor eksternal yang
memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan. Selama masih ada
fungsi yang tidak siap atau masih ada persoalan, maka sasaran yang telah ditetapkan
diduga tidak akan dapat tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran dapat tercapai,
perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi
siap. Tindakan yang dimaksud disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang
pada hakikatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan atau ancaman agar
menjadi kekuatan atau peluang.
Setelah
diketahui tingkat kesiapan faktor melalui analisis SWOT, langkah selanjutnya
adalah memilih alternatif langkah-langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan
yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap,
serta mengoptimalkan fungsi yang dinyatakan siap. Oleh karena kondisi dan
potensi sekolah berbeda-beda antara satu dengan lainnya, maka alternatif
langkah-langkah pemecahan persoalannya pun dapat berbeda, sesuai dengan
kesiapan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di sekolah tersebut.
Dengan kata lain, sangat dimungkinkan suatu sekolah mempunyai langkah pemecahan
yang berbeda dengan sekolah lain untuk mengatasi persoalan yang sama.
h. Mengidentifikasi alternatif langkah
pemecahan persoalan
Untuk
mewujudkan sasaran di atas, sekolah mengidentifikasi kelemahan dan ancaman yang
dihadapi dalam mencapai sasaran
i. Menyusun program peningkatan mutu
Dari
pelbagai alternatif langkah pemecahan persoalan yang ada, kepala sekolah
bersama-sama dengan unsur komite sekolah, menyusun dan merealisasikan rencana
dan program-programnya untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Rencana
yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang aspek-aspek mutu
yang ingin dicapai, kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus
melaksanakan, kapan dan di mana dilaksanakan, serta berapa biaya yang
diperlukan. Hal itu juga diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan
dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun orang tua peserta didik, baik
secara moral maupun financial.
j. Anggaran pendapatan dan belanja sekolah
(APBS)
Anggaran
adalah rencana yang diformulasikan dalam bentuk rupiah untuk jangka waktu tertentu
(periode), dengan alokasi sumber-sumber kepada setiap bagian aktivitas.
Anggaran memiliki peran penting di dalam perencanaan, pengendalian, dan
evaluasi aktivitas yang dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, setiap penanggung
jawab program harus menjalankan aktivitas sesuai dengan anggaran yang telah
ditentukan sebelumnya. Karena anggaran memiliki kedudukan penting, seorang
penanggung jawab program harus mencatat anggaran serta melaporkan realisasinya
sehingga dapat diperbandingkan selisih antara anggaran dengan pelaksanaan serta
melakukan tindak lanjut untuk perbaikan.
Ada
3 (tiga) bagian pokok anggaran suatu unit, yaitu: (1) target penerimaan,
(2)rencana pengeluaran, dan (3) sumber dana lainnya, misalnya sisa dana periode
sebelumnya yang menjadi saldo pada awal periode berjalan.
Fungsi
dasar suatu anggaran adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, alat
pengendalian, dan alat analisis. Agar fungsi-fungsi tersebut dapat berjalan,
maka jumlah yang dicantumkan dalam anggaran adalah jumlah yang diperkirakan
akan direalisasikan pada saat pelaksanaan kegiatan. Jumlah tersebut diupayakan
agar mendekati angka yang sebenarnya, termasuk di dalamnya adalah perhitungan
pajak-pajak.
Penyusunan
anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun.
Kemudian, diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan tersebut, bukan dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana
tersebut dihabiskan. Dengan pendekatan yang seperti itu, maka fungsi anggaran
sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan. Oleh karena itu,
dalam penyusunan anggaran perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut.
· Menginventarisasi rencana
yang akan dilaksanakan.
· Menyusun rencana
berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya.
· Menentukan program kerja
dan rincian program atau kegiatan.
· Menetapkan kebutuhan untuk
pelaksanaan rincian program.
· Menghitung dana yang
dibutuhkan.
· Menentukan sumber dana
untuk membiayai rencana.
Berbagai
rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan pada dasarnya
adalah program sekolah. Oleh karenanya, anggaran yang diperlukan juga tercakup
dalam anggaran dan pendapatan belanja sekolah (APBS). Anggaran untuk rencana
program dapat berasal dari berbagai sumber. Prinsip efisiensi harus diterapkan
dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang
disusun perlu dijelaskan, apakah rencana program yang akan dilaksanakan
merupakan hal yang baru atau merupakan kelanjutan atas kegiatan yang telah
dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan sumber dana
sebelumnya.
Dalam
anggaran yang disusun harus termuat informasi/data minimal tentang:
a) Informasi rencana kegiatan: sasaran,
uraian rencana kegiatan, penanggung jawab, rencana baru atau lanjutan.
b) Uraian kegiatan program: program kerja,
rincian program.
c) Informasi kebutuhan: barang/jasa yang
dibutuhkan, volume kebutuhan.
d) Data kebutuhan: harga satuan, jumlah biaya
yang diperlukan untuk seluruh volume kebutuhan.
e) Jumlah anggaran: jumlah anggaran untuk
masing-masing rincian program, program, rencana kegiatan, dan total anggaran
untuk seluruh rencana kegiatan periode terkait.
f) Sumber dana: total sumber dana, masing-masing
sumber dana yang mendukung pembiayaan program.
Dalam
pelaksanaan kegiatan, jumlah yang direalisasikan bisa jadi tidak sama persis
dengan anggarannya. Bisa kurang atau lebih dari jumlah yang telah dianggarkan. Realisasi
keuangan yang tidak sama dengan anggaran, terutama yang cukup besar
perbedaannya, harus dianalisis sebab-sebabnya. Apabila diperlukan dapat
dilakukan revisi anggaran agar fungsi anggaran dapat tetap berjalan. Perbedaan
antara realisasi pengeluaran dengan anggarannya bisa terjadi karena:
a. adanya efisiensi atau inefisiensi
pengeluaran;
b. terjadinya penghematan atau pemborosan;
c. pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai
dengan yang telah diprogramkan;
d. adanya perubahan harga yang tidak
terantisipasi, atau
e. penyusunan anggaran yang kurang tepat.
Anggaran
bersifat luwes. Maksudnya, apabila dalam perjalanan pelaksanaan kegiatan
ternyata harus dilakukan penyesuaian kegiatan, maka anggaran dapat direvisi
dengan menempuh prosedur tertentu. Mengacu pada Kaufman & English (1987),
dengan mendasarkan kepada problem-solving planning, maka perubahan-perubahan
dapat dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kurun waktu
1-3 bulan.
Perubahan-perubahan
yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut.
a. Adanya suatu kegiatan program yang
sebelumnya tidak dicantumkan di dalam proposal. Apabila terjadi perubahan
anggaran, sekolah harus melaporkannya secara tertulis ke Komite Sekolah untuk
mendapatkan persetujuan tanpa melihat besarnya perubahan jumlah anggaran yang
terjadi. Selanjutnya, menginformasi-kan perubahan tersebut kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota.
b. Perubahan yang tidak berkaitan dengan
rencana kegiatan, hanya dalam komponen program atau aktivitas. Apabila terjadi
perubahan komponen program atau aktivitas dan mengakibatkan perubahan alokasi
biaya diatas 10% dari total anggaran program yang bersangkutan maka perubahan
tersebut harus segera dilaporkan secara tertulis ke Komite Sekolah.
c. Perubahan berkaitan dengan perubahan
komponen program atau aktivitas namun pergeseran/perubahan dana yang terjadi
secara kumulatif masih dibawah 10% dari total anggaran rencana kegiatan.
Perubahan yang demikian tidak perlu dilaporkan segera tetapi cukup diberikan
penjelasan dalam laporan pelaksanaan kegiatan dan keuangan program MBS yang
disampaikan pada setiap semester.
Dalam
setiap pelaksanaan kegiatan sekolah, diwajibkan adanya laporan sebagai bentuk
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan. Laporan yang dimaksud berkaitan dengan
rencana, pelaksanaan program, dan penggunaan keuangan yang telah dikeluarkan
selama kegiatan berlangsung.
Laporan
bertujuan untuk melihat sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai berdasarkan
pada rencana dan kendala yang dihadapi sekolah selama pelaksanaan MBS. Tentunya
untuk dapat menyusun laporan, kepala sekolah harus melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap pelaksanaan setiap rencana yang diajukan dalam proposal.
Monitoring sebaiknya dilakukan secara periodik dan diarahkan untuk mengetahui
pelaksanaan setiap rencana, termasuk memberi bantuan yang diperlukan jika ada
permasalahan. Apabila dimungkinkan, monitoring dapat dilakukan dengan
melibatkan komite sekolah yang telah dibentuk. Laporan yang harus disiapkan
oleh sekolah terdiri atas laporan pelaksanaan rencana kerja tahunan sekolah
serta laporan pertanggungjawaban keuangan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pelaporan adalah sebagai berikut.
a. Laporan rencana dan program pelaksanaan.
Laporan ini dibuat secara periodik berdasarkan rencana dan program kerja yang
telah disusun. Laporan yang dibuat sekolah terdiri atas laporan kemajuan setiap
setengah semester atau semester, dan laporan akhir yang disiapkan setelah tahun
pelajaran berakhir. Laporan ini dimaksudkan sebagai laporan kemajuan untuk
melihat perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai, dan sekaligus
mengidentifikasi hambatan yang dialami selama pelaksanaan kegiatan berlangsung.
Berdasarkan data tersebut, dapat dilakukan perbaikan atau perubahan terhadap
rincian kegiatan yang direncanakan sebelumnya agar sasaran yang telah
ditetapkan dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Laporan
pada akhir tahun pelajaran merupakan laporan lengkap tentang seluruh rencana
dan program kerja yang telah dilaksanakan selama satu tahun serta hasil-hasil
yang telah dicapai dengan disertai bukti/dokumen (jika ada), seperti
peningkatan skor ulangan harian akhir, piagam, atau surat keterangan lainnya.
Laporan tersebut nantinya akan divalidasi oleh tim penilai untuk mengetahui
kebenarannya dan dijadikan dasar dalam menentukan tindakan selanjutnya. Secara
garis besar, laporan akhir tahun pelajaran pelaksanaan rencana dan program
pelaksanaan mencakup hal-hal sebagai berikut:
· Pencapaian sasaran mutu yang telah
ditetapkan.
· Pelaksanaan program.
· Kendala selama pelaksanaan.
· Anggaran dan sisa dana.
· Dampak pelaksanaan program.
· Simpulan dan saran.
b. Laporan keuangan
Bentuk
laporan keuangan, bisa secara periodik, rutin, atau incidental, apabila
diperlukan. Laporan keuangan tersebut memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu:
sebagai informasi tentang kondisi keuangan
yang dikelola untuk berbagai pihak yang memerlukan, termasuk pemberi dana dan
calon pemberi dana; serta
sebagai pertanggungjawaban atas pengelolaan
keuangan yang telah dilaksanakan.
Dengan
melihat kedua fungsi tersebut, suatu laporan keuangan dibuat tidak semata-mata
hanya untuk pertanggungjawaban saja, sehingga perlu dibuat dan disampaikan
secara periodik sesuai dengan yang telah ditentukan berdasarkan kebutuhan akan
informasinya. Seperti dana-dana dari pemerintah, sekolah penerima dana bantuan
wajib mengadministrasikan dan mempertanggungjawabkan dana bantuan tersebut
sesuai dengan aturan yang berlaku. Administrasi dan pertanggungjawaban tersebut
harus diwujudkan dalam bentuk tertulis dan siap untuk diverifikasi. Untuk
memudahkan dan melancarkan proses administrasi keuangan, disusun pedoman
keuangan yang dapat dipakai sebagai referensi sekolah dalam mengelola dan
menyelenggarakan administrasi dana program. Selain itu, dengan adanya pedoman
ini diharapkan sekolah menjadi lebih sadar dan peduli terhadap pentingnya
pembuatan laporan keuangan yang baik dan transparan. Apabila dalam pelaksanaan
kegiatan MPMBS digunakan dana lain, dana tersebut dilaporkan bersama-sama
sebagai suatu kesatuan. Dalam laporan keuangan yang dibuat, perlu dimuat
perbandingan data realisasi keuangan dengan anggaran yang telah disusun. Dalam
kondisi tertentu diperlukan revisi anggaran yang telah disusun tersebut. Bentuk
laporan keuangan yang perlu dibuat terdiri atas (1) laporan perkembangan
keuangan serta (2) laporan realisasi penggunaan dana
c. Mekanisme Pelaporan
· Laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan
dan keuangan sekolah dilakukan setiap akhir setengah semester atau semester,
paling lambat minggu ke-2 pada bulan berikutnya setelah setengah atau satu
semester berakhir.
· Laporan tersebut harus sudah diperiksa
oleh komite sekolah mengenai keakuratan dan
· Laporan akhir dibuat pada setiap akhir
tahun ajaran, paling lambat satu minggu setelah masuk tahun ajaran berikutnya.
· Laporan pelaksanaan kegiatan dan
keuangan dikirimkan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
· Laporan pelaksanaan kegiatan dilampiri
dengan copy bukti/dokumen. Sedangkan laporan keuangan dikirim tanpa dilampiri
dengan bukti/dokumen pengeluaran, baik asli maupun copy-nya
· Bukti/dokumen realisasi pengeluaran
keuangan disimpan di sekolah, tetapi harus siap bila diperiksa setiap saat oleh
tim monitoring atau petugas yang berwenang
· Laporan tetap dibuat dan dikirim
walaupun tidak/belum ada realisasi pengeluaran dari dana yang telah dianggarkan
· Berdasarkan pada laporan kemajuan dan
laporan akhir tahun yang telah dibuat oleh sekolah, maka sekolah dapat
menggunakan hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya sebagai bahan
pertimbangan untuk merencanakan sasaran serta rencana dan program pelaksanaan
tahun berikutnya
DAFTAR
PUSTAKA
Danim,
S. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Jakarta.
Fattah,
N. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung:
Pustaka Bai Quraisy
Gamage,
D. 2003. School-Based Management Leads Shared Responsibility and Qualty in
Education. New Orleans, LA: EDRS..
Mulyasa,
E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
_________.
2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan
KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkholis.
2005. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
Q/A
for the web/knowledge nugget. School-Based Management. http://www1.
worldbank.org/education/globaleducationreform/06.governancereform/06.02.SBMQ&A/Q&ASMB.htm
Rosyada,
D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.
Sagala,
S. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenang-kan
Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima.
Slamet
PH. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 27.
http//www.pdk.go.id/jurnal/27/manajemen-berbasis-sekolah.htm
Soenarya,
E. 2000. Teori Perencanaan Pendidikan: Berdasarkan Pendekatan Sistem.
Yogyakarta: Adicita.
Wohlsteeter
& Mohrman. 1997. School-Based Management: Strategies for Success, CPRE
Finance Briefs. http:// www.ed.gov/pubs/CPRE/fb2sbm.html