Rabu, 13 November 2013

belajar



BELAJAR
ü  Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya dalam memnuhi kebutuhan hidupnya
ü  Permanen
ü  Proses memperoleh pengetahuan
ü  Hasil latihan yang di perkuat ( pengalaman)
Ciri ciri perilaku belajar
Ø  Perubahan tingkah laku terjadi secara sadar
Ø  Perubahan bersigfat kontinu dan fungsional
Ø  Perubahan bersifat positif dan aktif
Ø  Perubahan bukan bersifat sementara
Ø  Perubahan belajar dan bertujuan/terarah
Faktor yang mempengaruhi belajar
*      Faktor internal ,jasmaniah ( kesehatan dan cacat tubuh ), Psikologis ( IQ, perhatian, minta, bakat, morif, kematangan, dan kelelahan )
*      Faktor eksternal yaitu keluarga, sekolah, masyarakat.

Motivasi belajar
§  Woolfolk (1993) keadaan internal yang menaikkan ( membangkitkan ), meengarahkan dan memelihara perilaku mencapai tujuan+ sasaran
§  Dakir (1993) pemberi alasan, penyebab , pendorongan bagi seseorang yang bersangkutan dapat berbuat sesuatu.
Macam motivasi
1.      Motivasi Instrumental ( dorongan mendapatkan hadiah/ menghindari hukuman )
2.      Motivasi sosial ( keterlibatan )
3.      Motivasi berprestasi, adanya keingin untuk mencapai prestasi tertentu.
4.      Motivasi intrinsik karna kengininan kita sendiri.
Perilaku siswa yang bermotivasi
a)      Adanya kualitas keterlibatan siswa dalam belajar yang sangat tinggi.
b)      Adanya perasaan dan keterlibatan afektif siswa yang tinggil dalam belajar.
c)      Adanya upaya siswa untuk senantiasa memelihara/ menjaga agar senantiasa memiliki motivasi belajar tinggi.



Minggu, 03 November 2013

Impelemtasi manajemen berbasis sekolah


IMPELEMTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

A.    Strategi Sukses Implementasi MBS
1.      Strategi Sukses Implementasi MBS
Beberapa prinsip MBS yang dapat digunakan sebagai acuan bagi sekolah dalam menerapkan MBS, yaitu otonomi sekolah, fleksibilitas, partisipasi dan akuntabilitas untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Menurut Wohlstetter dan Mohrman, dkk. (1997), terdapat empat kewenangan (otonomi) dan tiga prasyarat yang bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah dalam mengimplementasikan MBS. Hal itu berkaitan dengan: (1) kekuasaan (power) untuk mengambil keputusan, (2) pengetahuan dan keterampilan, termasuk untuk mengambil keputusan yang baik dan pengelolaan secara profesional, (3) informasi yang diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan, (4) penghargaan atas prestasi (reward), (5) panduan instruksional (pembelajaran), seperti rumusan visi dan misi sekolah yang menfokuskan pada peningkatan mutu pembelajaran, (6) kepemimpinan yang mengupayakan kekompakan (kohesif) dan fokus pada upaya perbaikan atau perubahan, serta (7) sumber daya yang mendukung.
Di samping itu, penerapan MBS di sekolah juga hendaknya memperhatikan karakteristik dari MBS, baik dilihat dari aspek input, proses dan output. Pemahaman terhadap prinsip MBS dan karaketeristik MBS akan membawa sekolah kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada akhirnya mutu pendidikan yang diharapkan dapat tercapai dan dipertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Menurut Slamet P.H (2001), pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu diditempuh dalam melaksanakan MBS adalah sebagai berikut.
Pertama, mensosialiasikan konsep MBS. Sosialisasi dilakukan kepada seluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, dan sebagainya) melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa dengan memperhatikan sistem, budaya, dan sumber daya sekolah. Kedua, melakukan analisis situasi. Analisis sistuasi akan menghasilkan tantangan nyata, yang harus dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah kesenjangan antara keadaan sekarang dan keadaan yang diharapkan. Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan yang ada.
Ketiga, merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai melalui pelaksanaan MBS, berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi. Kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria ini digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya. Keempat, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud di antaranya meliputi pengem-bangan: kurikulum, tenaga kependidikan dan nonkependidikan, siswa, iklim akademik sekolah, hubungan sekolah-masyarakat, fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Kelima, menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan setiap fungsi harus memadai. Paling tidak memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal, serta peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan sebagai kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal, dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
Keenam, memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakikatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor kekuatan dan/atau peluang.
Ketujuh, membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, berikut program-program untuk merealisasikan rencana tersebut. Perencanaan itu dilakukan secara partisipatif dan berdasarkan pada pemecahan masalah. Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk rencana jangka pendek, menengah, dan panjang.
Kedelapan, melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Kesembilan, melakukan pemantauan serta evaluasi proses hasil MBS. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan. Sementara hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan.
Nurkholis (2003:132) mengemukakan sembilan strategi keberhasilan implementasi MBS. Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian, serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa (2005: 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah kebijakan pengembangan kurikulum yang mengacu kepada standar kompetensi, kompetensi dasar, dan standar isi, serta pembelajaran beserta sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan masyarakat yang dilakukan secara fleksibel. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non- pembelajaran. Menurutnya, sekolah harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat secara luas. Wujud dari partisipasi masyarakat dan orang tua siswa bukan hanya sebatas dalam bantuan dana, tetapi lebih dari itu dalam memikirkan peningkatan kualitas sekolah. Misalnya, partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan mengembangkan program-program pendidikan.
Ketiga, adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan, dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan.
Menurut Mulyasa (2005:98), Kepala Sekolah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam kerangka implementasi MBS. Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala sekolah harus memiliki visi, misi, dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan profesional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan, manajerial, dan supervisi pendidikan. Kepala sekolah juga dituntut untuk menjalin kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah. Singkatnya, dalam implementasi MBS, kepala sekolah harus mempu berperan sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator.
Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang efektif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orangtuanya, serta masyarakat dan para guru.
Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi tentang konsep MBS.
Keenam, adanya panduan (guidelines) dari Departeman Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Dengan dasar hukum pelaksanaan MBS yang tertuang adalam UU No. 25 Tahun 2000, dan UU No. 20 Tahun 2003, Departemen Pendidikan diharapkan memberikan panduan sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan MBS yang sifatnya tidak mengekang dan membelenggu sekolah.
Ketujuh, sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban tahunan. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dikelola secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait.
Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah, khususnya pada peningkatan prestasi belajar siswa.
Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building), pengadaan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, monitoring dan evaluasi, serta melakukan perbaikan-perbaikan.
Di samping itu, pelaksanaan MBS perlu didukung oleh iklim sekolah yang memadai, yaitu iklim sekolah yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable learning). Iklim sekolah akan mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang efektif, yang lebih menekankan pada learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Untuk mendukung semua itu, sekolah perlu dilengkapi oleh sarana dan prasarana pendidikan, serta sumber-sumber belajar yang memadai.

2.      Faktor Pendukung Kesuksesan Implementasi MBS
Menurut Nurkholis (2003:264), ada enam faktor pendukung keberhasilan implementasi MBS. Keenamnya mencakup: political will, finansial, sumber daya manusia, budaya sekolah, kepemimpinan, dan keorganisasian.
Keberhasilan implementasi MBS di Indonsia tidak terlepas dari dasar hukum implementasi MBS yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah juga sebagai dasar bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Salah satu contoh dukungan pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya panduan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Aspek finansial atau keuangan merupakan faktor penting bagi sekolah dalam mengimplementasikan MBS. Kalau mencemati perjalanan implementasi MBS di Indonesia, perhatian pemerintah dari aspek finansial dalam mendukung implementasi MBS di Indonesia baru dirasakan secara langsung melalui pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Mulai Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2007 ini, implementasi MBS mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga donor internasional dan negara-negara tetangga, di antaranya adalah Unesco, New Zealand Aid, Asian Development Bank, USAID, dan AusAID. Yang paling menyedihkan adalah banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang setiap tahunnya memberikan laporan keuntungan yang sangat besar, tetapi kontribusinya terhadap pendidikan masih sangat rendah. Di samping itu, walaupun UUD 1945 yang diamandemen mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%, namun dalam prakteknya masih sangat sulit diterapkan. Jika dukungan pemerintah melalui alokasi anggaran pendidikan 20% dipenuhi, sebagian dana pendidikan tersebut dapat digunakan untuk mendukung kesuksesan implementasi MBS.
Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan implementasi MBS. Ketersedian sumber daya manusia yang mendukung implementasi MBS belum cukup. Karena MBS merupakan hal yang baru dan hanya sebagian orang yang mempunyai keahlian dan keterampilan dalam mendukung implementasi MBS. Oleh karena itu, dukungan untuk on the job training, atau in service training dalam kerangka peningkatan pengetahuan dan kemampuan tentang MBS perlu dilakukan.
Faktor budaya sekolah rata-rata belum bisa mendukung kesuksesan implementasi MBS. Perubahan dari budaya sekolah yang telah lama terbentuk dengan manajemen pendidikan yang sentralistik menuju manajemen pendidikan yang sentralistik masih sulit dilaksanakan. Budaya yang hanya melaksanakan apa yang ditetapkan pusat masih melekat pada sebagian besar sekolah. Masih banyak warga sekolah yang tidak perduli terhadap kemajuan sekolahnya. Oleh karena itu, perlu dibangun budaya sekolah yang mendukung implementasi MBS, seperti budaya untuk maju, bekerja keras, inovatif, dan sebagainya untuk mencapai peningkatan mutu sekolah.
Kepemimpinan dan organisasi yang efektif merupakan faktor penting lainnya untuk keberhasilan implementasi MBS. Kepemimpinan yang efektif tercapai apabila kepala sekolah memiliki kemampuan profesional di bidangnya, memiliki bakat atau sifat, serta memahami kondisi lingkungan sekolah dalam menerapkan kepemim-pinannya. Kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang mampu berperan sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator. Di samping itu, sekolah sebagai organisasi harus diubah dan dikembang-kan. Perubahan dan pengembangan organisasi sekolah harus diawali dari perubahan individu dan lingkungan kerja secara bertahap, sehingga perubahan sekolah akan berjalan baik apabila perubahan organisasi itu berdampak pada perbaikan kehidupan para guru dan stafnya.

3.      Ukuran Keberhasilan Implementasi MBS
Salah satu ukuran penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa. Ukuran keberhasilan implementasi MBS tidak terlepas dari tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, khususnya pilar ke dua dan ketiga, yaitu pemerataan dan peningkatan akses serta peningkatan mutu dan tata layanan.
Pada aspek pemerataan dan peningkatan akses, keberhasilan MBS dapat dilihat dari kemampuan sekolah dan daerah dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. MBS dikatakan berhasil apabila jumlah anak usia sekolah yang bersekolah meningkat, khususnya dari kelompok masyarakat berasal dari daerah pedesaan dan terpencil, keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya, gender, serta penyandang cacat. Ukuran-ukuran kuantitatif yang dapat digunakan adalah nilai angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi murni (APM), angka transisi (AT).
Dari segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat dari meningkatnya prestasi akademik maupun nonakademik Sedangkan indikator tata layanan pendidikan ditunjukkan oleh sejauh mana peningkatan layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih baik kepada siswa melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolah, akan menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi lebih efektif, serta siswa pun menjadi lebih aktif dan kreatif karena mereka berada dalam lingkungan belajar yang menyenangkan. Tata layanan pendidikan yang berkualitas mengakibatkan prestasi siswa juga meningkat, baik dari aspek akademik maupun nonakademik. Dampak positif lainnya dari tata layanan pendidikan yang berkualitas ialah menurunnya jumlah siswa mengulang kelas atau yang drop-out. Uraian di atas menunjukkan bahwa sekolah yang telah berhasil menerapkan MBS akan tercermin dari adanya kinerja sekolah yang kian membaik atau meningkat. Dampak dari meningkatnya kinerja sekolah adalah pengelolaan sekolah menjadi lebih efektif dan efisien.
Di samping kinerja sekolah tersebut, indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi MBS adalah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah yang menjadikan sekolah lebih demokratis, transparan dan akuntabel.
Nurkholis (2003:271-282) menyatakan bahwa ukuran keberhasilan implemen-tasi MBS di Indonesia dapat dinilai setidaknya dari sembilan kriteria. Pertama, jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan semakin meningkat. Kedua, kualitas layanan pendidikan menjadi lebih baik, yang berdampak pada peningkatan prestasi akademik dan nonakademik siswa.
Ketiga, tingkat tinggal kelas menurun dan produktivitas sekolah semakin baik. Maksudnya, rasio antara jumlah siswa yang mendaftar dengan jumlah siswa yang lulus menjadi lebih besar. Siswa yang tinggal kelas menurun karena (a) siswa semakin semangat datang ke sekolah dan belajar di rumah dengan dukungan orang tua dan lingkungannya, (b) pembelajaran di sekolah semakin baik karena kemampuan mengajar guru menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Aspek produktivitas sekolah meningkat disebabkan karena (a) peningkatan efisiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya di sekolah, dengan memberdayakan peran serta masyarakat, isntitusi, dan tenaga kependidikan secara demokratis dan efisien, serta (b) peningkatan efektivitas dengan tercapainya berbagai tujuan pendidikan yang diterapkan.
Keempat, relevansi pendidikan semakin baik, karena program-program sekolah dibuat bersama-sama dengan warga masyarakat dan tokoh masyarakat, baik dari aspek pengembangan kurikulum maupun sarana dan prasarana sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakat. Kelima, terjadinya keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan karena penentuan biaya pendidikan tidak dilakukan secara pukul rata, tetapi didasarkan pada kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Biaya pendidikan pada tingkat dan jenis pendidikan serupa antara daerah yang satu dengan daerah lainnya akan berlainan menurut kekuatan ekonomi warganya.
Keenam, meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah, baik yang menyangkut keputusan instruksional maupun organisasional. Ketujuh, iklim dan budaya kerja sekolah semakin baik, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Kedelapan, kesejahteraan guru dan staf sekolah membaik. Kesembilan, terjadinya demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat dari aspek kelembagaannya, maka ukuran keberhasilan Implementasi MBS dapat dilihat dari ciri-ciri sekolah yang telah melaksanaan MBS. Adapun ciri-ciri sekolah yang melaksanaan MBS
B.     Perencanaan Pengembangan Sekolah
1.      Konsep Perencanaan
Syaiful Sagala (2004:19) mengatakan bahwa perencanaan (planning) adalah fungsi manajemen yang menentukan secara jelas pemilihan pola-pola pengarah untuk pengambil keputusan sehingga terdapat koordinasi dari demikian banyak keputusan dalam suatu kurun waktu tertentu dan mengarah kepada tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan merupakan suatu proses yang memungkinkan seorang manajer melihat ke masa depan dan menemukan berbagai alternatif arah kegiatan. Karena itu, perencanaan merupakan urat nadi dalam sebuah manajemen.
Jadi, perencanaan adalah proses penetapan dan pemanfaatan sumber-sumber daya secara terpadu yang diharapkan dapat menunjang kegiatan-kegiatan dan upaya-upaya yang akan dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan (Sagala, 2004:19). Sebagai salah satu fungsi manajemen, perencanaan menempati fungsi pertama dan utama di antara fungsi-fungsi manajemen lainnya.
Dalam suatu perencanaan perlu ditetapkan teknik/cara dan alat pengukur yang akan dipergunakan untuk mengetahui tahap pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Usaha mengukur ketercapaian tujuan itu disebut evaluasi (Nawawi, 1997:26). Evaluasi adalah proses penetapan seberapa jauh tujuan yang telah dirumuskan dapat dicapai dengan mempergunakan cara kerja, alat, dan personil tertentu. Dengan demikian usaha merencanakan cara evaluasi akan meliputi pula tindakan kontrol terhadap efisiensi cara bekerja, keserasian dan ketepatan alat yang dipergunakan, serta kemampuan personal dalam mewujudkan kerja.
Evaluasi internal dapat dilakukan dengan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, dan Threats) yaitu menganalisis kekuatan dan kelemahan lembaga (internal), serta peluang dan ancaman (eksternal) yang dihadapi. Evaluasi diri dilakukan oleh tim secara objektif terhadap kinerja lembaga. Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian dirumuskan isu atau permasalahan yang harus dicari pemecahannya serta tindakan yang perlu dilakukan. Hal penting yang harus diperhati-kan dalam evaluasi diri adalah ketersediaan sumber daya dan prioritas program. Untuk memperjelas apa dan bagaimana evaluasi diri (SWOT analysis), perhatikan gambar berikut ini (Nanang Fattah, 2004:36).
Banghart dan Trull (dalam Sagala, 2000:46) mengemukakan, “Educational planning is first of all a rational process”. Pendapat ini menunjukkan bahwa perencanaan pendidikan adalah awal dari proses-proses rasional, dan mengandung sifat optimisme yang didasarkan atas kepercayaan bahwa berbagai permasalahan akan dapat diatasi. Perencanaan pendidikan di sekolah harus luwes, mampu menyesuaikan diri terhadap kebutuhan, dapat dipertanggungjawabkan, dan menjadi penjelas dari tahap-tahap yang dikehendaki dengan melibatkan sumber daya dalam pembuatan keputusan. Perencanaan sekolah ini juga seharusnya menjadi bagian penting dari perencanaan pemerintah kabupaten/kota tempat sekolah itu berada. Dari berbagai hasil penelitian, ditemukan bahwa salah satu kelemahan sekolah dalam meningkatkan kualitas sekolah adalah dalam penyusunan rencana pengembangan sekolah. Hanya sebagian kecil saja sekolah yang memiliki rencana pengembangan sekolah secara komprehensif. Karena pada umumnya sekolah hanya memiliki rencana kegiatan tahunan, tetapi jarang yang memiliki rencana pengembangan untuk jangka panjang. Selain itu, banyak sekolah yang dalam menyusun rencana kegiatan tahunan tersebut terkesan berorientasi pada “penggunaan” dana yang dimiliki, sehingga jika ditanya tentang rencana kegiatan tahunan, mereka akan menunjukkan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah).
Fenomena rencana kegiatan tahunan yang bernuansa “penggunaan” dana ini, diduga disebabkan oleh kekurangpahaman sekolah terhadap cara penyusunan rencana pengembangan sekolah.
Rencana pengembangan sekolah harus komprehensif. Sebab jika tidak, akan menyebabkan rencana kegiatan tahunan sekolah tidak berkesinambungan dari tahun ke tahun. Setiap saat arah pengembangan sekolah dapat bergeser atau berubah diwarnai oleh isu yang menarik/hangat pada saat itu dan kepemimpinan sekolah. Dengan adanya rencana pengembangan, sekolah tidak mudah terombang-ambingkan, karena sekolah sudah memiliki arah yang jelas tentang tujuan yang ingin diraihnya.
Rencana Pengembangan Sekolah merupakan rencana yang komprehensif untuk mengoptimalkan pemanfaatkan semua sumber daya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna mencapai tujuan yang diinginkan pada masa mendatang. Rencana pengembangan sekolah harus berorientasi ke depan dan menjelaskan bagaimana menjembatani kondisi saat ini dengan harapan yang ingin dicapai di masa depan. Rencana pemgembangan sekolah merupakan rencana yang harus mempertimbangkan dan memperhatikan peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal dan memperhatikan kekuatan dan kelemahan internal, kemudian mencari dan menemukan strategi dan program-program untuk memanfaatkan peluang dan kekuatan yang dimiliki serta mengatasi tantangan dan kelemahan yang ada, guna mencapai visi yang telah ditetapkan.
Oleh karenanya, rencana pengembangan sekolah harus memuat secara jelas hal-hal sebagai berikut.
a.       Visi sekolah, yang menggambarkan sekolah yang bagaimana yang diinginkan di masa mendatang (jangka panjang).
b.      Misi sekolah, yang berisi tindakan/upaya untuk mewujudkan visi sekolah yang telah ditetapkan sebelumnya.
c.       Tujuan pengembangan sekolah, yang menjelaskan apa yang ingin dicapai dalam upaya pengembangan sekolah pada kurun waktu menengah, misalnya untuk 3-5 tahun.
d.      Tantangan nyata yang harus diatasi sekolah, yaitu gambaran kesenjangan (gap) dari tujuan yang diinginkan dan kondisi sekolah saat ini.
e.       Sasaran pengembangan sekolah, yaitu apa yang diinginkan sekolah untuk jangka pendek, misalnya untuk satu tahun.
f.       Identifikasi fungsi-fungsi yang berperan penting dalam pencapai sasaran tersebut.
g.      Analisis SWOT terhadap fungsi-fungsi tersebut, sehingga ditemukan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (oportunity) dan ancaman (threat) dari setiap fungsi yang telah diidentifikasi sebelumnya.
h.      Identifikasi alternatif langkah untuk mengatasi kelemahan dan acaman dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang yang dimiliki sekolah.
i.        Rencana dan program sekolah yang dikembangkan dari alternatif yang terpilih, guna mencapai sasaran yang ditetapkan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun rencana pengembangan sekolah ialah adanya keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan (stake holder), misalnya guru, siswa, tata usaha/karyawan, orangtua siswa, tokoh masyarakat yang memiliki perhatian kepada sekolah. Karena dengan cara tersebut diharapkan rencana pengembangan sekolah menjadi “milik” semua warga sekolah dan pihak lain yang terkait.
Pelibatan warga sekolah tersebut tentu saja sesuai dengan kemampuan masing-masing. Maksudnya, setiap orang dilibatkan sesuai dengan kemampuan dan kepentingannya. Pelibatan warga sekolah ini menggunakan prinsip perwakilan, tetapi tetap harus menjaga “rasa terwakili” dalam proses penyusunan dan “rasa memiliki” terhadap hasil. Seluruh warga sekolah harus merasa ikut menentukan dalam proses penyusunan rencna strategis, sehingga merasa ikut memiliki rencana tersebut, yang pada akhirnya merasa terpanggil untuk mensukseskannya.
Rencana pengembangan sekolah sebenarnya secara komprehensif mencakup harapan jangka panjang yang ditunjukkan oleh visi sekolah, harapan jangka menengah yang ditunjukkan oleh tujuan sekolah, dan sasaran jangka pendek sekaligus bagaimana mencapai sasaran tersebut. Jika tahapan tersebut dilakukan secara konsisten, maka ketercapaian sasaran demi sasaran pada akhirnya akan berakumulasi menjadi ketercapaian tujuan dan akhirnya mencapai visi sekolah. Perlu dicatat bahwa ketika rencana dan program tahunan sekolah telah disusun, maka berikutnya diikuti dengan penyusunan rencana anggaran sekolah, yang biasanya disebut dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Jadi. RAPBS adalah dukungan “anggaran” untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

2.      Tahapan dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah
Dalam melaksanakan MBS, sekolah harus mampu membuat rencana pengembangan sekolah (RPS) yang mengarah pada peningkatan kualitas sekolah. Sebuah RPS yang baik memiliki beberapa tahapan yang hierarkis, sistematis, dan jelas. Mengapa? Karena RPS merupakan pedoman kerja (kerangka acuan) dalam melaksanakan pengembangan sekolah, dasar untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan sekolah, serta acuan untuk mengidentifikasi dan mengajukan sumber-sumber daya pendidikan yang diperlukan dalam pengembangan sekolah.
Penyusunan RPS berrtujuan agar sekolah dapat mengetahui secara rinci tindakan-tindakan yang harus dilakukan sehingga tujuan, kewajiban, dan sasaran pengembangan sekolah dapat dicapai. Dalam RPS, semua program dan kegiatan pengembangan sekolah mestinya sudah memperhitungkan harapan-harapan para pemangku-kepentingan dan kondisi nyata sekolah. Oleh sebab itu, proses perumusan RPS harus melibatkan semua pemangku-kepentingan.
Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang baik memiliki sejumlah ciri berikut.
a.       Komprehensif dan terintegrasi, yakni mencakup perencanaan keseluruhan program yang akan dilaksanakan sekolah.
b.      Multi-tahun, yaitu mencakup periode beberapa tahun – umumnya di sekolah dikembangkan untuk jangka waktu empat – lima tahun. Setiap tahun terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan terakhir.
c.       Multi-sumber, yaitu menunjukkan jumlah dan sumber dana masing-masing program. Misalnya dari BOS, APBD Kabupaten/Kota, iuran orang tua atau sumber lainnya.
d.      Disusun secara partisipatif oleh Kepala Sekolah, Komite Sekolah dan Dewan Pendidik dengan melibatkan para pemangku-kepentingan lainnya.
e.       Pelaksanaannya dimonitor oleh Komite Sekolah dan pemangku-kepentingan yang lain (DBE1, 2006).
Menurut Kaufman, R. & English, F.W (1979), perencanaan pengembangan sekolah terdiri dari sejumlah tahap berikut.
a.       Mengidentifikasi kebutuhan (need) yang didasarkan pada keadaan sekolah atau profil sekolah (what is) dan harapan stakeholder atau standar (what should be).
b.      Melakukan analisis kebutuhan yang didasarkan pada alternatif pemecahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
c.       Menetapkan sasaran atau tujuan.
d.      Menetapkan program dan kegiatan.
e.       Menetapkan anggaran.
f.       Melakukan implementasi dan evaluasi.
Sementara itu, dalam manual RPS yang diterbitkan oleh DBE1 (2006) dinyatakan bahwa ada empat tahap penyusunan RPS.
a.       Mengidentifikasi tantangan. Tujuan dari identifikasi tantangan adalah mengidentifikasi kesenjangan antara harapan pemangku kepentingan (stakeholder) dan keadaan atau profil sekolah serta memilih tantangan utama yang muncul.
b.      Melakukan analisis tantangan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi penyebab tantangan utama dan melakukan identifikasi alternatif pemecahan untuk mengatasi sebab utama tantangan.
c.       Melakukan penyusunan program. Pada tahap ini terdapa tiga langkah yang dilakukan yaitu menetapkan sasaran, menyusun program dan indikator keberhasilan, serta menyusun kegiatan.
d.      Menyusun rencana biaya dan pendapatan (RAPBS).
Tahapan penyusunan RPS (Depdiknas, 2002).yaitu :
a.      Merumuskan visi sekolah
Visi adalah imajinasi moral yang menggambarkan profil sekolah yang diinginkan pada masa mendatang. Imajinasi ke depan seperti itu didasarkan pada SWOT sekolah dan stakeholders, dan diyakini akan terjadi di masa datang. Mungkin kita mengimajinasikan sekolah yang bermutu, diminati oleh masyarakat, memiliki jumlah guru yang cukup dengan kualitas yang baik, fasilitas sekolah yang baik, dan sebagainya. Namun demikian, visi sekolah harus tetap berada dalam koridor kebijakan pendidikan nasional serta kemampuan sekolah itu untuk mewujudkannya.
Tanggung jawab pendidikan di sekolah bukan hanya monopoli kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya, melainkan tanggung jawab banyak orang sebagaimana yang dituangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Guru, karyawan, siswa, orangtua siswa, masyarakat, dan pemerintah adalah contoh dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah. Oleh karena itu, dalam merumuskan visi sekolah, kelompok kepentingan tersebut harus diajak bermusyawarah dan didengar pendapatnya. Dengan cara itu visi sekolah akan mewakili aspirasi stakeholder dan mereka merasa “memiliki” visi tersebut, yang pada gilirannya diharapkan mendorong mereka untuk bersama-sama berperan aktif dalam mewujudkan visi tersebut.
Visi pada umumnya dirumuskan dengan kalimat yang filosofis, bahkan seringkali mirip sebuah slogan, namun tidak bombastis. Sering pula dirumuskan dalam bentuk kalimat yang khas, mudah diingat dan terkait dengan istilah tertentu. Rumusan visi yang baik memiliki ciri berikut.
·           Berorientasi ke masa depan (jangka waktu yang lama).
·           Menunjukkan keyakinan masa depan yang jauh lebih baik, sesuai dengan norma dan harapan masyarakat.
·           Mencerminkan standar keunggulan dan cita-cita yang ingin dicapai.
·           Mencerminkan dorongan yang kuat akan tumbuhnya inspirasi, semangat, dan komitmen warga sekolah dan sekitarnya.
·           Mampu menjadi dasar dan mendorong terjadinya perubahan dan pengembangan sekolah ke arah yang lebih baik.
·                     Menjadi dasar perumusan misi dan tujuan sekolah.
b.      Menyusun misi sekolah
Misi adalah tindakan atau upaya untuk mewujudkan visi. Oleh karenanya, misi merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, dan rancangan tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan visi. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya. Rumusan misi selalu dalam bentuk kalimat yang menunjukkan “tindakan” dan bukan kalimat yang menunjukkan “keadaan” sebagaimana pada rumusan visi.
c.       Merumuskan tujuan sekolah
Perumusan tujuan sekolah harus berdasar dari visi dan misi. Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang sangat panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu menengah. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan atau langkah untuk mewujudkan visi sekolah yang telah dicanangkan. Sebaiknya tujuan tersebut dikaitkan dengan siklus program sekolah, misalnya untuk jangka 4 tahunan.
d.      Menganalisis tantangan
Tantangan merupakan kesenjangan (gap) antara tujuan yang ingin dicapai sekolah dengan kondisi sekolah saat ini. Tantangan harus “diatasi” selama kurun waktu tertentu. Jika saat ini sekolah baru mencapai juara ketiga pada LKIR tingkat kabupaten, sedangkan tujuan sekolah ingin mencapai juara pertama, maka tantangan yang dihadapi sekolah adalah “dua peringkat”, yaitu dari juara ketiga menjadi juara pertama.
Pada organisasi besar, seperti perusahaan atau instansi tertentu, sesudah perumusan tujuan dilanjutkan dengan perumusan strategi perusahaan atau instansi tersebut untuk mencapai tujuan. Strategi dalam hal ini dimaksudkan sebagai “langkah pokok” perusahaan, organisasi, atau departemen untuk mencapai tujuannya.
Strategi tersebut disamping mengacu kepada tujuan yang ingin dicapai, juga memperhatikan kondisi sekolah saat ini, khususnya kekuatan dan peluang yang dapat digunakan. Misalnya, sebuah sekolah yang berada pada lingkungan masyarakat yang secara sosial ekonomi sangat bagus, sementara anggaran pemerintah belum bagus, merumuskan strategi untuk mencapai tujuan sekolah adalah “menggalang partisipasi orang tua dan masyarakat”. Sekolah lain yang merasa jumlah dan kualifikasi tenaga guru cukup baik, namun prestasi akademik siswa ternyata rendah, melakukan analisis dan menemukan bahwa kondisi kerja di sekolah merupakan salah faktor penentu motivasi kerja guru, yang berujung pada mutu hasil belajar. Oleh karena itu, rumusan salah satu strateginya adalah “meningkatkan iklim kerja sekolah”. Jadi strategi harus memperhatikan hasil evaluasi diri atau profil sekolah.
Untuk sekolah, mungkin strategi seperti tersebut diatas tidak harus dirumuskan secara khusus. Namun, perlu dipikirkan pada saat menentukan alternatif langkah-langkah mengatasi masalah dan penyusunan rencana dan program sekolah. Sebaiknya kedua langkah tersebut memperhatikan strategi dasar sekolah dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
e.       Menentukan sasaran sekolah
Berdasarkan pada tantangan tersebut, tahap selanjutnya adalah merumuskan sasaran atau target mutu yang akan dicapai oleh sekolah. Sasaran harus menggambarkan mutu dan kuantitas yang ingin dicapai dan terukur agar mudah melakukan evaluasi keberhasilannya. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan tantangan yang dihadapi sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah. Oleh karenanya, setiap sekolah harus memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah sebelum merumuskan sasarannya.
Sasaran dapat disebut juga tujuan jangka pendek (misalnya 1 tahun) atau tujuan situasional sekolah. Dari uraian tersebut, maka yang dimaksud dengan sasaran/tujuan situasional adalah tujuan yang dirumuskan dengan memperhitungkan tantangan yang dihadapi oleh sekolah. Ketika menentukan sasaran, prioritas sasaran harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Misalnya, sekolah mencanangkan tujuan yang mencakup tiga aspek. Untuk itu, sekolah perlu menyusun prioritas, apakah ketiga aspek tersebut akan digarap pada tahun pertama, atau hanya beberapa aspek saja berdasarkan pertimbangan kondisi dan kemampuan sekolah.
f.        Mengidentifikasi fungsi-fungsi
Setelah sasaran ditentukan, selanjutnya dilakukan identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran tersebut. Langkah ini harus dilakukan sebagai persiapan dalam melakukan analisis SWOT. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya untuk meningkatkan nilai ujian sekolah adalah fungsi proses belajar mengajar (PBM) dan pendukung PBM, seperti: ketenagaan, kesiswaan, kurikulum, perencanaan instruksional, sarana dan prasarana, serta hubungan sekolah dan masyarakat. Selain itu terdapat pula fungsi-fungsi yang tidak terkait langsung dengan proses belajar mengajar, misalnya pengelolaan keuangan dan pengembangan iklim akademik sekolah.
Apabila sekolah keliru dalam menetapkan fungsi-fungsi tersebut atau fungsi tidak sesuai dengan sasarannya, maka dapat dipastikan hasil analisis akan menyimpang dan tidak berguna untuk memecahkan persoalan. Oleh karenanya, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam menentukan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Pada setiap fungsi ditentukan pula faktor-faktornya, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal agar setiap fungsi memiliki batasan yang jelas dan memudahkan saat melakukan analisis.
Setelah fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran telah diidentifikasi, maka langkah berikutnya adalah menentukan tingkat kesiapan masing-masing fungsi  beserta faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).
g.      Melakukan analisis SWOT
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi tersebut, baik faktor internal maupun eksternal.
Dalam melakukan analisis terhadap fungsi dan faktor-faktor, berlaku beberapa ketentuan.Untuk tingkat kesiapan yang memadai, artinya, memenuhi kriteria kesiapan minimal yang diperlukan untuk mencapai sasaran, dinyatakan sebagai kekuatan bagi faktor internal atau peluang bagi faktor eksternal. Sedangkan tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya, tidak memenuhi kriteria kesiapan minimal, dinyatakan sebagai kelemahan bagi faktor internal atau ancaman bagi faktor eksternal. Untuk menentukan kriteria kesiapan, diperlukan kecermatan, kehati-hatian, pengetahuan, dan pengalaman agar dapat diperoleh ukuran kesiapan yang tepat.
Kelemahan atau ancaman yang dinyatakan pada faktor internal dan faktor eksternal yang memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan. Selama masih ada fungsi yang tidak siap atau masih ada persoalan, maka sasaran yang telah ditetapkan diduga tidak akan dapat tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran dapat tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi siap. Tindakan yang dimaksud disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang pada hakikatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan atau ancaman agar menjadi kekuatan atau peluang.
Setelah diketahui tingkat kesiapan faktor melalui analisis SWOT, langkah selanjutnya adalah memilih alternatif langkah-langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap, serta mengoptimalkan fungsi yang dinyatakan siap. Oleh karena kondisi dan potensi sekolah berbeda-beda antara satu dengan lainnya, maka alternatif langkah-langkah pemecahan persoalannya pun dapat berbeda, sesuai dengan kesiapan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di sekolah tersebut. Dengan kata lain, sangat dimungkinkan suatu sekolah mempunyai langkah pemecahan yang berbeda dengan sekolah lain untuk mengatasi persoalan yang sama.
h.      Mengidentifikasi alternatif langkah pemecahan persoalan
Untuk mewujudkan sasaran di atas, sekolah mengidentifikasi kelemahan dan ancaman yang dihadapi dalam mencapai sasaran
i.        Menyusun program peningkatan mutu
Dari pelbagai alternatif langkah pemecahan persoalan yang ada, kepala sekolah bersama-sama dengan unsur komite sekolah, menyusun dan merealisasikan rencana dan program-programnya untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Rencana yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan di mana dilaksanakan, serta berapa biaya yang diperlukan. Hal itu juga diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun orang tua peserta didik, baik secara moral maupun financial.
j.        Anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS)
Anggaran adalah rencana yang diformulasikan dalam bentuk rupiah untuk jangka waktu tertentu (periode), dengan alokasi sumber-sumber kepada setiap bagian aktivitas. Anggaran memiliki peran penting di dalam perencanaan, pengendalian, dan evaluasi aktivitas yang dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, setiap penanggung jawab program harus menjalankan aktivitas sesuai dengan anggaran yang telah ditentukan sebelumnya. Karena anggaran memiliki kedudukan penting, seorang penanggung jawab program harus mencatat anggaran serta melaporkan realisasinya sehingga dapat diperbandingkan selisih antara anggaran dengan pelaksanaan serta melakukan tindak lanjut untuk perbaikan.
Ada 3 (tiga) bagian pokok anggaran suatu unit, yaitu: (1) target penerimaan, (2)rencana pengeluaran, dan (3) sumber dana lainnya, misalnya sisa dana periode sebelumnya yang menjadi saldo pada awal periode berjalan.
Fungsi dasar suatu anggaran adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, alat pengendalian, dan alat analisis. Agar fungsi-fungsi tersebut dapat berjalan, maka jumlah yang dicantumkan dalam anggaran adalah jumlah yang diperkirakan akan direalisasikan pada saat pelaksanaan kegiatan. Jumlah tersebut diupayakan agar mendekati angka yang sebenarnya, termasuk di dalamnya adalah perhitungan pajak-pajak.
Penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun. Kemudian, diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan pendekatan yang seperti itu, maka fungsi anggaran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan. Oleh karena itu, dalam penyusunan anggaran perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut.
·                     Menginventarisasi rencana yang akan dilaksanakan.
·                     Menyusun rencana berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya.
·                     Menentukan program kerja dan rincian program atau kegiatan.
·                     Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.
·                     Menghitung dana yang dibutuhkan.
·                     Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.
Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan pada dasarnya adalah program sekolah. Oleh karenanya, anggaran yang diperlukan juga tercakup dalam anggaran dan pendapatan belanja sekolah (APBS). Anggaran untuk rencana program dapat berasal dari berbagai sumber. Prinsip efisiensi harus diterapkan dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu dijelaskan, apakah rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau merupakan kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan sumber dana sebelumnya.
Dalam anggaran yang disusun harus termuat informasi/data minimal tentang:
a)      Informasi rencana kegiatan: sasaran, uraian rencana kegiatan, penanggung jawab, rencana baru atau lanjutan.
b)      Uraian kegiatan program: program kerja, rincian program.
c)      Informasi kebutuhan: barang/jasa yang dibutuhkan, volume kebutuhan.
d)     Data kebutuhan: harga satuan, jumlah biaya yang diperlukan untuk seluruh volume kebutuhan.
e)      Jumlah anggaran: jumlah anggaran untuk masing-masing rincian program, program, rencana kegiatan, dan total anggaran untuk seluruh rencana kegiatan periode terkait.
f)       Sumber dana: total sumber dana, masing-masing sumber dana yang mendukung pembiayaan program.
Dalam pelaksanaan kegiatan, jumlah yang direalisasikan bisa jadi tidak sama persis dengan anggarannya. Bisa kurang atau lebih dari jumlah yang telah dianggarkan. Realisasi keuangan yang tidak sama dengan anggaran, terutama yang cukup besar perbedaannya, harus dianalisis sebab-sebabnya. Apabila diperlukan dapat dilakukan revisi anggaran agar fungsi anggaran dapat tetap berjalan. Perbedaan antara realisasi pengeluaran dengan anggarannya bisa terjadi karena:
a.       adanya efisiensi atau inefisiensi pengeluaran;
b.      terjadinya penghematan atau pemborosan;
c.       pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang telah diprogramkan;
d.      adanya perubahan harga yang tidak terantisipasi, atau
e.       penyusunan anggaran yang kurang tepat.
Anggaran bersifat luwes. Maksudnya, apabila dalam perjalanan pelaksanaan kegiatan ternyata harus dilakukan penyesuaian kegiatan, maka anggaran dapat direvisi dengan menempuh prosedur tertentu. Mengacu pada Kaufman & English (1987), dengan mendasarkan kepada problem-solving planning, maka perubahan-perubahan dapat dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kurun waktu 1-3 bulan.
Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut.
a.       Adanya suatu kegiatan program yang sebelumnya tidak dicantumkan di dalam proposal. Apabila terjadi perubahan anggaran, sekolah harus melaporkannya secara tertulis ke Komite Sekolah untuk mendapatkan persetujuan tanpa melihat besarnya perubahan jumlah anggaran yang terjadi. Selanjutnya, menginformasi-kan perubahan tersebut kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
b.      Perubahan yang tidak berkaitan dengan rencana kegiatan, hanya dalam komponen program atau aktivitas. Apabila terjadi perubahan komponen program atau aktivitas dan mengakibatkan perubahan alokasi biaya diatas 10% dari total anggaran program yang bersangkutan maka perubahan tersebut harus segera dilaporkan secara tertulis ke Komite Sekolah.
c.       Perubahan berkaitan dengan perubahan komponen program atau aktivitas namun pergeseran/perubahan dana yang terjadi secara kumulatif masih dibawah 10% dari total anggaran rencana kegiatan. Perubahan yang demikian tidak perlu dilaporkan segera tetapi cukup diberikan penjelasan dalam laporan pelaksanaan kegiatan dan keuangan program MBS yang disampaikan pada setiap semester.
Dalam setiap pelaksanaan kegiatan sekolah, diwajibkan adanya laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan. Laporan yang dimaksud berkaitan dengan rencana, pelaksanaan program, dan penggunaan keuangan yang telah dikeluarkan selama kegiatan berlangsung.
Laporan bertujuan untuk melihat sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai berdasarkan pada rencana dan kendala yang dihadapi sekolah selama pelaksanaan MBS. Tentunya untuk dapat menyusun laporan, kepala sekolah harus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan setiap rencana yang diajukan dalam proposal. Monitoring sebaiknya dilakukan secara periodik dan diarahkan untuk mengetahui pelaksanaan setiap rencana, termasuk memberi bantuan yang diperlukan jika ada permasalahan. Apabila dimungkinkan, monitoring dapat dilakukan dengan melibatkan komite sekolah yang telah dibentuk. Laporan yang harus disiapkan oleh sekolah terdiri atas laporan pelaksanaan rencana kerja tahunan sekolah serta laporan pertanggungjawaban keuangan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaporan adalah sebagai berikut.
a.       Laporan rencana dan program pelaksanaan. Laporan ini dibuat secara periodik berdasarkan rencana dan program kerja yang telah disusun. Laporan yang dibuat sekolah terdiri atas laporan kemajuan setiap setengah semester atau semester, dan laporan akhir yang disiapkan setelah tahun pelajaran berakhir. Laporan ini dimaksudkan sebagai laporan kemajuan untuk melihat perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai, dan sekaligus mengidentifikasi hambatan yang dialami selama pelaksanaan kegiatan berlangsung. Berdasarkan data tersebut, dapat dilakukan perbaikan atau perubahan terhadap rincian kegiatan yang direncanakan sebelumnya agar sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Laporan pada akhir tahun pelajaran merupakan laporan lengkap tentang seluruh rencana dan program kerja yang telah dilaksanakan selama satu tahun serta hasil-hasil yang telah dicapai dengan disertai bukti/dokumen (jika ada), seperti peningkatan skor ulangan harian akhir, piagam, atau surat keterangan lainnya. Laporan tersebut nantinya akan divalidasi oleh tim penilai untuk mengetahui kebenarannya dan dijadikan dasar dalam menentukan tindakan selanjutnya. Secara garis besar, laporan akhir tahun pelajaran pelaksanaan rencana dan program pelaksanaan mencakup hal-hal sebagai berikut:
·         Pencapaian sasaran mutu yang telah ditetapkan.
·         Pelaksanaan program.
·         Kendala selama pelaksanaan.
·         Anggaran dan sisa dana.
·         Dampak pelaksanaan program.
·         Simpulan dan saran.
b.      Laporan keuangan
Bentuk laporan keuangan, bisa secara periodik, rutin, atau incidental, apabila diperlukan. Laporan keuangan tersebut memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu:

    sebagai informasi tentang kondisi keuangan yang dikelola untuk berbagai pihak yang memerlukan, termasuk pemberi dana dan calon pemberi dana; serta
    sebagai pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan yang telah dilaksanakan.

Dengan melihat kedua fungsi tersebut, suatu laporan keuangan dibuat tidak semata-mata hanya untuk pertanggungjawaban saja, sehingga perlu dibuat dan disampaikan secara periodik sesuai dengan yang telah ditentukan berdasarkan kebutuhan akan informasinya. Seperti dana-dana dari pemerintah, sekolah penerima dana bantuan wajib mengadministrasikan dan mempertanggungjawabkan dana bantuan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku. Administrasi dan pertanggungjawaban tersebut harus diwujudkan dalam bentuk tertulis dan siap untuk diverifikasi. Untuk memudahkan dan melancarkan proses administrasi keuangan, disusun pedoman keuangan yang dapat dipakai sebagai referensi sekolah dalam mengelola dan menyelenggarakan administrasi dana program. Selain itu, dengan adanya pedoman ini diharapkan sekolah menjadi lebih sadar dan peduli terhadap pentingnya pembuatan laporan keuangan yang baik dan transparan. Apabila dalam pelaksanaan kegiatan MPMBS digunakan dana lain, dana tersebut dilaporkan bersama-sama sebagai suatu kesatuan. Dalam laporan keuangan yang dibuat, perlu dimuat perbandingan data realisasi keuangan dengan anggaran yang telah disusun. Dalam kondisi tertentu diperlukan revisi anggaran yang telah disusun tersebut. Bentuk laporan keuangan yang perlu dibuat terdiri atas (1) laporan perkembangan keuangan serta (2) laporan realisasi penggunaan dana
c.       Mekanisme Pelaporan
·         Laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan dan keuangan sekolah dilakukan setiap akhir setengah semester atau semester, paling lambat minggu ke-2 pada bulan berikutnya setelah setengah atau satu semester berakhir.
·         Laporan tersebut harus sudah diperiksa oleh komite sekolah mengenai keakuratan dan
·         Laporan akhir dibuat pada setiap akhir tahun ajaran, paling lambat satu minggu setelah masuk tahun ajaran berikutnya.
·         Laporan pelaksanaan kegiatan dan keuangan dikirimkan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
·         Laporan pelaksanaan kegiatan dilampiri dengan copy bukti/dokumen. Sedangkan laporan keuangan dikirim tanpa dilampiri dengan bukti/dokumen pengeluaran, baik asli maupun copy-nya
·         Bukti/dokumen realisasi pengeluaran keuangan disimpan di sekolah, tetapi harus siap bila diperiksa setiap saat oleh tim monitoring atau petugas yang berwenang
·         Laporan tetap dibuat dan dikirim walaupun tidak/belum ada realisasi pengeluaran dari dana yang telah dianggarkan
·         Berdasarkan pada laporan kemajuan dan laporan akhir tahun yang telah dibuat oleh sekolah, maka sekolah dapat menggunakan hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya sebagai bahan pertimbangan untuk merencanakan sasaran serta rencana dan program pelaksanaan tahun berikutnya



DAFTAR PUSTAKA


Danim, S. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Jakarta.

Fattah, N. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bai Quraisy

Gamage, D. 2003. School-Based Management Leads Shared Responsibility and Qualty in Education. New Orleans, LA: EDRS..

Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

_________. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurkholis. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.

Q/A for the web/knowledge nugget. School-Based Management. http://www1. worldbank.org/education/globaleducationreform/06.governancereform/06.02.SBMQ&A/Q&ASMB.htm

Rosyada, D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.

Sagala, S. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenang-kan Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima.

Slamet PH. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 27. http//www.pdk.go.id/jurnal/27/manajemen-berbasis-sekolah.htm

Soenarya, E. 2000. Teori Perencanaan Pendidikan: Berdasarkan Pendekatan Sistem. Yogyakarta: Adicita.

Wohlsteeter & Mohrman. 1997. School-Based Management: Strategies for Success, CPRE Finance Briefs. http:// www.ed.gov/pubs/CPRE/fb2sbm.html